BAB I
Manusia
merupakan mahluk hidup yang berbudya, diIndonesia ada anyak budya, slah satunya
budaya atau kebiasaan suku Batak. Suku batak terkenal dengan adat-adatnya. Adat adalah bagian dari pada Kebudayaan, berbicara
kebudayaan dari suatu bangsa atau suku bangsa maka adat kebiasaan suku
bangsa tersebut yang akan menjadi perhatian, atau dengan katalain bahwa adat
lah yang menonjol didalam mempelajari atau mengetahui kebudayaan satu
suku bangsa, meskipun aspek lain tidak kalah penting nya seperti
kepercayaan, keseniaan,kesusasteraan dan lain-lain .
Dahulu
kala keseluruhan aspek kehidupan orang Batak diatur oleh dan didalam
adat.Gunanyaialah untuk menciptakan keterarturan didalam masyarakat.Kegiatan
sehari-hari didalamhubungan sesama orang Batak selalu diukur dan diatur
berdasarkan adat.
Namun
keterbukaan akan suku bangsa lain dan membawa budayanya misalnya melalui
asimilasidan akulturasi (proses percampuran dua budaya atau lebih) , dan agama
yang melarang untuk terlibat dalam adat mempengaruhi sikap pada adat dan
tradisi membuat cenderung semakingoyang. Artinya muncul sikap tidak lagi
membutuhkan adat istiadat warisan nenek moyang,meskipun masih banyak yang
mematuhi dan melaksana-kan adat bahkan dibeberapa suku Batak masih
membutuhkannya didalam pengaturan masyarakat, dan kenyataan dapat
diharapkansebagai suatu alat pemeliharaan moral.
TUJUAN
Adat pada suku Batak merupakan penting, ada Adat Inti, Adat Na taradat, Adat Na
niadathon. Pada artikel saya ini akan membahas tentang upacara kematian di suku
Batak.
BAB II
ISI
Kematian
merupakan peristiwa alami yang harus dialami oleh semua makhluk hidup termasuk
manusia. Perbedaannya antara yang satu dengan yang lain adalah ada yang berumur
pendek, ada yang berumur panjang. Demikian pula sejarah kehidupan manusia, ada
yang berumur ratusan tahun ada pula yang meninggal sewaktu di dalam kandungan,
ada yang begitu lahir ke dunia ini meninggal, ada yang didalam usia sekolah,
remaja, dewasa, baru berumah tangga, dan seterusnya. Bagi orang batak,
peristiwa meninggal, dibagi dalam dua bangian besar yaitu: Peristiwa seseorang
yang meninggal sebagai Duka; dan peristiwa meninggal yang dianggap sebagai Suka
Cita.
Kriteria
kedua perstiwa ini masih dibagi lagi dalam beberapa status yaitu:
1.
Sebagai Duka (Tilaha);
secara umum, semua orang yang meninggal di kala orang tuanya masih hidup,
disebut tilaha. Orang tuanya disebut tilahaon. Ada tilahaon dimana anaknya yang
meninggal belum menikah. Ada yang disebut Tilahaon Matua. Yaitu seseorang yang
kehilangan anak (meninggal), dimana anaknya yang meninggal tersebut sudah
berumah tangga, atau sudah punya cucu. Orang tua tersebut disebut ”Tilahaon
Matua”
2. Suka
Cita; Seseorang yang
meninggal dikala anaknya sudah menikah semua dan sudah selesai didalam adat,
hingga punya cucu dan cicit, dan tidak ada diantara keturunannya meninggal
mendahului dia.
Menurut sisi
pandang adat batak, ada tingkatan status adat kematian.
a. Tilaha,
kematian yang tidak diingini orang batak tingkat statusnya, mati bayi, mati
anak muda, mati muda, mati sudah berumah tangga tapi anaknya masih kecil (mate
ponggol)
b. Meninggal
pada saat anak-anaknya belum semuanya berumah tangga, terutama anak laki-laki
disebut “Sarimatua”
c. Meninggal
pada saat semua anaknya laki dan perempuan sudah menikah dan sudah selesai
dalam adat disebut “Saur Matur”
d. Meninggal
setelah punya cucu dari semua anaknya, bahkan sudah punya cicit, dan tidak ada
diantara keturunanya meninggal mendahului dia, serta didukung perekonomian
anaknya yang sudah mandiri, disebut; Saur Matua Mauli Bulung
Adat
Kematian Menurut Status
1. Tilaha (umur 0 th – dewasa belum menikah)
kematian seperti ini tidak begitu ketat tuntutan adatnya. Yang berduka adalah
keluarga dan tulangnya yang meninggal. Dalam pemberian saput, tulangnya merobek
kain sarung sebagai saput. Dahulu, perlakuan ini dilakukan oleh tulangnya
kepada berenya yang meninggal sebelum berumah tangga.
2. Tompas
Tataring/Mate Ponggol.,
sudah berumah tangga, sudah punya anak kecil. Yang berduka adalah orang tuanya,
tulangnya, anak istrinya dan mertuanya/hula-hula. Adatnya sangat sederhana,
Apabila yang meninggal adalah perempuan, maka yang memberikan saput adalah
hula-hula (saudara laki-laki dari yang meninggal), sedangkan yang memberikan
tujung kepada suaminya yang meninggal adalah tulangnya. Apabila yang meninggal
adalah laki-laki, maka yang memberikan saput kepada yang meninggal adalah
tulangnya, sedangkan yang memberi tujung adalah saudara laki-laki dari istri
yang meninggal. Pelaksanaan adatnya tidak begitu ketat terutama dalam pemberian
piso-piso/lomba parjambaran diberikan sebagai pemberitahuan resmi kepada
hula-hula/tulang bahwa bilang-bilangan mereka sudah berkurang. Diberikan pada
waktu buka tujung.
3. Sari
Matua. Orang yang
meninggal pada saat anaknya sudah dewasa dan sebahagian sudah menikah, atau
sudah semua menikah tetapi belum selesai dalam adat. Adat pada situasi seperti
ini sangat rumit apabila hula-hula anaknya yang belum selesai dalam adat
menuntut adat putrinya. Karena pada perinsipnya adat kematian merupakan adat
terakhir dalam sejarah kehidupan seseorang dan adat dari anaknya, kepada
hula-hula parumaennya, merupakan tanggung jawab dari orangtuanya yang sudah
meninggal.
Pada
pelaksanaan adat seperti inilah seorang raja adat harus hati-hati mengajukan
konsep ulaon adat kematian. Pada saat seperti ini pembicaraan biasanya agak
alot, terutama apabila konsep adat yang diutarakan adat na gok karena melihat
semua anaknya sudah berkeluarga. Bagi salah satu orang tua yang hidup, masih
dikenakan Tujung.
Ada sebagian
orang yang meningkatkan adat yang meninggal seperti ini dengan adat nagok,
dengan ulos kepada yang menduda atau menjanda “Sappe Tua”.
Hati-hati
peningkatan adat seperti ini. Terutama anaknya yang belun menikah adalah
laki-laki. Artinya, yang diberi ulos sappe tua, tidak boleh lagi menerima dan
member ulos passamot. Karena dianggab sudah selesai hak dan kewajiban adatnya.
Jadi kita sebagai generasi muda orang Batak agar selektip di dalam perlakuan
adat.
Ironisnya
usulan seperti ini, datangnya dari orang yang sudah lanjut usia dengan alasan
supaya “jaga ulaon I”(adatnya supaya bedrmakna), bukas soal jagar. Tetapi rule,
hukumnya atau kepatutannya. Sebagai hula-hula, kalau ternyata anaknya yang
meninggal, kawin sama boru tulangnya, yang memberikan “ulos Sappe Tua” tadi.
Pantas kah tulangnya tidak memberi ulos passamot? Atau sebaliknya, pantas kah
tulangnya sebagai hula-hula memberikan ulos passamot? Jadi Raja adat dan
hula-hula, hendaknya memikirkan anaknya yang meninggal. Kalau raja adat, dan
hula-hula, tidak atau tidak terpikirkan sampai kesitu, maka jadilah Raja Adat
“si mata hepengon”, Hula-hula oleh berenya, menjadi “tulang sattabi hita on”
Maka “moral” raja dan hula-hula menjadi tanda Tanya.
4. Saur
Matua. Orang yang
meninggal pada situasi anak-anaknya sudah menikah semua dan sudah selesai dalam
adat. Dan sudah punya cucu dari anak laki-laki dan anak perempuan. Pelaksanaan
adat dalam situasi yang demikian sudah agak gampang, hanya kesulitannya adalah
dibidang dana/biaya. Kalau dahulu, biaya semacam ini merupakan sindikasi dari
anak-anaknya serta keponakan-keponakan yang meninggal. Sehingga dahulu adat
seperti ini jarang tidak terlaksana, karena adat semacam ini merupakan
kebanggaan satu ompung.
Demikian
juga pihak tulang dari yang meninggal, akan menjadi suka cita, karena peran
tulang dalam adat tersebut sangat penting dan berhak atas buka “HOMBUNG” dalam
adat Toba Holbung, Di Humbang Pada umumnya dan Dairi disebut “LOMBA” yang
menurut aslinya sesuai dengan angka 48, 24, 12.yang paling kecil nilainya
adalah 6. Angka ini dikaitkan dengan filosofi nama pohon, yang paling tinggi
adalah “SARUMARNAEK”, yang kedua adalah “SANDUDUK” yang lain…………(penulis lupa).
Bagi yang menjanda atau menduda, tidak ada lagi ulos tujung, tetapi ulos sampe
tua.
5. Mauli
Bulung. Seseorang
yang meninggal dikala semua anak sudah menikah dan selesai dalam adat dan
bahkan sudah punya cicit baik dari anak laki-laki, maupun dari anak perempuan,
dan semua anaknya dan keturunannya mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup
(memiliki hasangapon, hagabeon hamoraon) Kematian semacam ini juga merupakan
dambaan seseorang orang tua maupun anak-anaknya dan keluarga besar se-ompung,
maupun pihak hula-hula dan tulang.
Pada adat
kematian yang saurmatua dan mauli bulung, keluarga akan memberikan jambar
“LOMBA” juga dikaitkan dengan angka 48, 24, 12 dan tidak ada lagi “Ulos Tujung”
tetapi “Sampe Tua” Dalam situasi orang meninggal seperti ini, kaitan lomba
dengan angka agak ketat
Catatan:
1. Istilah
“LOMBA” umumnya di daerah Humbang Hasundutan, sedangkan di lain daerah disebut “HOMBUNG”
2. Aturan
pembagian besarnya “ lomba“ kepada hula-hula dan tulang, kalau laki yang
meninggal, tulang mendapat satu bagian, hula-hula dapat setengah, kalau
perempuan yang meninggal hula-hula mendapatkan satu sedangkan tulang dapat
setengah
3. Seorang
yang meninggal, walau pun sudah punya cucu, tetapi orang tuanya masih hidup
(Tilahaon Matua), Kesedihan orang tua yang meninggal harus di perhatikan. Bagi
orang lain terkadang baru sari matua sudah dibunyikan gondang/alat musik dan
manortor untuk menyambut kedatangan hula-hula dalam acara adat. Dalam hal
pengertian pemberian “sappe tua” perlu diperhatikan kata-kata yang berbunyi
“nilangka to jolo, tinailihon tu pudi” pemberian ulos “sappe tua” sering
berdasarkan atas nilai materi yang dimiliki keluarga.
Sejalan
dengan itu atas permintaan keluarga dengan alasan agar sangap, sebab yang
meninggal orang terpandang, kaya, tokoh. Pada hal masih ada dua atau satu orang
anaknya yang belum menikah, maka artinya, apabila anak tersebut menikah, si
duda atau si janda tidak akan bisa menerima ulos “pansamot” dan inilah yang
juga perlu dipikirkan oleh hula-hula dan tulang. Kalau kemudian sianak
manunduti mengambil boru tulang dari mamaknya atau boru tulang dari ompungnya.
Yang menjadi pertanyaan apakah mereka tidak memberikan ulos “pansamot” kepada
ibotonya? Kecuali anaknya sudah sewajarnya berumahtangga dilihat dari sisi umur
maupun kemapanan ekonomi, mungkin pertimbangannya, kalau selamanya tidak akan
berumahtangga, maka jangan lah menjadi penghalang bagi adat pasangaphon
hula-hula yang terakhir dari orang tuanya yang meninggal.
Tahapan Ke
Arah Pelaksanaan Adat.
1. Keluarga
berkumpul untuk mencari kesepakatan (adat dan dana) tentang konsep adat yang
akan dilaksanakan.
2. Setelah
ada kesepakatan, maka konsep adat yang akan dilaksanakan, disampaikan kepada
tetua adat untuk mendapatkan pengarahan sesuai konsep yang sudah disepakati. Di
sinilah fungsi raja adat/tetua adat dalam menyikapi konsep adat yang diterima,
apabila ada kekurangan dan kelebihan tentunya tetua adat/ raja adat mempunyai
fungsi untuk menyempurnakan. Setelah tidak ada masalah, undangan diberikan
kepada pihak tulang dan hula-hula serta kepada tetua adat. Apabila sudah saur
matua dan mauli bulung, undangan disampikan juga kepada hula-hula, buna tulang,
hula-hula namarhaha-anggi dan hula-hula anak manjae serta tulang
rorobot/narobot.
3. Setelah
hula hula hadir semua, antara hasuhuton dengan pihak hula-hula duduk berhadapan
dan hasuhuton terlebih dahulu mengecek kehadiran semua undangan terutama
hula-hula dan tulang serta tulang rorobot.
4. Kata
sambutan dari hasuhuton (hata huhuasi) atas kehadiran semua undangan terutama
atas kehadiran horong ni hula-hula. Pada akhir huhuasi, diberitahukan maksud
dan tujuan undangan. Dan minta nasehat terhadap rencana yang diutarakan
5. Kalau
sudah ada kesepakatan antara hasuhuton, horong ni hula-hula serta dongan
sahuta, tentang konsep adat yang akan dilaksanakan terhadap yang meninggal,
maka pada hari yang sudah ditentukan dalam pelaksanaan adat, tinggal mengikuti
konsep yang sudah disepakati tadi. Parrapoton.
Bagi
sebagian daerah, pembicaraan konsep adat dengan hula-hula, sudah dianggap
parrapoton. Akan tetapi disebagian daerah, parrapoton diadakan pada saat
pembukaan pelaksanaan adat, dipimpin oleh seorang raja adat yang sudah punya
cucu.
Raja adat
tersebut akan memperkenalkan diri di depan halayak ramai dan keluarga yang
kemalangan; “Au na di patua di adat di ……….(huta ….atau di parserahan…….) on,
na margoar ……… marga ….., goar maroppuni, Oppu ……….marga ……..Manguluhon
parrapoton di partua ni amanta/inanta naung jumolo monding on dst.”
Di
perantauan, yang memimpin parrapoton belum tentu raja adat Huta dari mana
keluarga kemalangan berasal. Tetapi raja adat dari hula-hula atau tulang.
Hula-hula apabila yang meninggal adalah ibu, sedangkan tulang, apabila yang
meninggal adalah bapak.
Pada saat
parrapoton; Hasuhuton, menyediakan piring berisi beras serta uang beberapa
lembar sesuai kehadiran hula-hula
1. Hula-hula
atau tulang bertanya kepada hasuhuton di depan hkalayak tentang keturunan yang
meninggal, apakah sudah sanggup dan pantas melakukan adat sesuai dengan konsep
yang mereka terima atau masih ada yang mengganjal.
2. Kemudian
menanyakan kepada khalayak tentang Kepatutan dan kepantasan adat yang akan
dilaksanakan sesuai dengan hukum adat yang berlaku di daerah tersebut.
3.
Menanyakan kepada khalayak, semasa hidupnya almarhum/almarhumah, apakah ada
persoalan-persoalan tertulis atau lisan/hutang piutang dan lain-lain yang belum
selesai. Setelah tidak ada komplain dari khalayak, terutama pihak hula-hula
maka, konsep adat oleh raja adat dalam hal ini dari pihak hula-hula, dapat
dilaksanakan dengan mengetuk piring tiga kali yang berisi beras dan uang.
Apabila terdapat persoalan menurut kebiasaan setempat dan persoalan surat
menyurat yang belum tuntas, maka hula-hula memohon kepada hasuhuton untuk
menyelesaikannya, atau menyesuaikan adat sesuai dengan kebiasaan setempat.
Setelah
diketok tiga kali dengan logam, maka dibagikan lah uang yang diatas piring tadi
kepada: hula-hula bona tulang, hula-hula namarhaha anggi, hula-hula anak majae,
tulang rorobot. Yang terakhir kepada tulang dan hula-hula. Beras yang diatas
piring, di taburkan ke kepalanya semua keturunan yang meninggal, secara
berurutan dan penutup, ditaburkan tiga kali secara sporadis. Maka pelaksanaan
adat sah untuk dilaksanakan.
Adat saur
matua dan mauli bulung seperti ini, sudah dikatakan “tu dolok na timbo, di atas
ni batu napir na martindi-tindi, di bona ni hariara, na marurat tu toru
marbulung tu ginjang, mardakka tu lambung” Dan perlakuan adat disini, hasuhuton
menebar uang kepada halayak, terutama kepada hula-hula (Mangalindakhon na gok)
Ulaon na gok di namonding.
Telah kita
bahas mengenai tingkat adat dalam kematian, Toppas Tataring dan Sari Matua,
dapat dilaksanakan adat na Gok. Tetapi perlakuannya tidak seperti adat di Saur
Matua atau Mauli Bulung. Adat Selatan atau Sipirok hampir ada kesamaannya
dengan perlakuan adat Na Gok di Hubbang, utamanya Pakkat Sekitar dan
Parlilitan.
Hal ini
ditandai dengan pemberian Lomba kepada hula-hula atau tulang. Biasanya, kalau
yang ditinggalkan yang meninggal anak laki-laki. Kata orang-orang tua dulu,
“dao ma anak na nidondonan ni Lomba” karena adat yang meninggal belum selesai
kepada hula-hula atau tulang, maka hal itu tetap menjadi hutang adat bagi si
anak yang di tinggal.
Jika
kemudian si anak menjadi seorang yang berada, dan dia memiliki “Hasangapon,
Hagabeon, dan Hamoraon” ingin berbuat yang baik kepada orang tuanya, atau pesta
adat yang lain, maka tidak ada lagi penghalang. Hula-hula atau tulang tidak
menuntut hutang adat dari orang tuanya yang sudah lebih dulu meninggal.
Bagi
kepercayaan orang tua dulu, seorang anak yang di dondoni lomba akan mendapat
masalah dalam kehidupannya(cekak) Soal perlakuan adatnya, sudah sama dengan apa
yang biasa kita lihat setiap adat kematian.
Di dalam
acara sari matua diberengi dengan adanya tilahaon matua, walaupun adat na gok,
di dalam acara adatnya jangan sekali-kali padenggal tangan dan membunyikan
musik untuk menyambut kedatangan hula-hula.
Pada
umumnya, orang batak agak berpikir tiga kali untuk melaksanakan ulaon yang
besar dalam adat kematian, yang mana orang tua yang meninggal masih hidup.
Karena apabila orang tua yang meninggal kelak, maka ulaon adat kematian
terhadap orang tua yang tilahaon matua tadi, akan jauh lebih besar. Karena
aturan perlakuan adat sihabatakon dalam kontek tilahaon matua, adalah suatu hal
yang memalukan bagi keluarga kalau lebih besar ulaon kematian anak dari pada
adat kematian kemudian yang tilahaon matua.
Mengenai
pembicaraan adat dalam adat kematian, tidak seperti pembicaraan di ulao adat
perkawinan. Pembicaraan dialog (two way communication) hanya terjadi pada
“Tonggo raja”. Dialog di sini hanyalah untuk menyamakan persepsi antara
hula-hula dengan hasuhuton, tentang konsep adat yang akan di laksanakan.
Selanjutnya yang terjadi adalah monolog (one way communication), pada “hata
huhuasi, hata nauli sian namarholong ni roha, hata nauli sian horong ni
hula-hula, dohot hata pangappuon.(br14).
BAB III
KESIMPULAN
Setiap daerah memiliki kebudayaan masing-masing, pada
upacara kematian suku Batak terdapat acara-acara tertentu yang harus dilakukan.
. Bagi suku batak, peristiwa meninggal, dibagi dalam dua bangian besar yaitu:
Peristiwa seseorang yang meninggal sebagai Duka; dan peristiwa meninggal yang
dianggap sebagai Suka Cita.
SARAN
Upacara-upacara tradisional haruslah dipertahankan dan
diajarkan oleh generasi yang muda, agar upacara-upacara tradisional berjalan
dengan benar, tidak hanya upacara kematian saja yang harus diketahui(khususnya
bagi suku batak). Masih ada upacara-upacara adat yang harus diketahui. Jaga
terus adat isitiadt leluhur kita.
Komentar
Posting Komentar